Oleh Hera Khaerani
Seorang guru sedang berbicara pada muridnya di depan kelas, “Nanti kalau pengawas datang dan menanyakan tentang buku yang kalian beli, bilang saja kalian sengaja beli sendiri ya.” Meski tak mengerti, anak-anak kecil itu mengangguk. Di rumah, masalah itu ditanyakan kepada orang tua mereka. Sebagian orang tua mereka menjadi kesal, meski tak berniat menegur. Sebagian lain pasrah saja karena berharap kedamaian bagi anaknya di sekolah.
Saya sendiri hanya mampu mengelus dada saat sepupu saya membicarakan hal itu. Lagi-lagi, nilai merah bagi rapor dunia pendidikan; sebuah kebohongan yang sering dipraktikkan sekolah-sekolah di Indonesia. Padahal, peraturan pemerintah berisi larangan bagi guru atau sekolah menjual buku pada anak muridnya sudah dikeluarkan sejak tiga tahun silam.
Itu hanya salah satu contoh kecurangan yang terjadi di dunia pendidikan. Sama kasusnya dengan sekolah yang tertekan oleh target tingkat kelulusan hingga akhirnya memberikan kunci jawaban kepada siswa saat ujian, yang terjadi adalah penerobosan celah-celah di dunia pendidikan. Artikel ini bermaksud membahas kinerja pemerintah dalam sektor pendidikan dengan perbandingan hasil nyatanya di lapangan, untuk kemudian mencari solusi yang diperlukan.
Kebijakan Pendidikan
Begitu mudah bagi kita untuk menyalahkan pemerintah dalam hal “ini dan itu”. Tapi seberapa seringkah kita introspeksi dan menyadari bahwa sebenarnya kita juga turut menjadi kunci keberhasilan mereka?
Dalam upaya memajukan sektor pendidikan, pemerintah berupaya menaikkan anggaran pendidikan menuju standar dua puluh persen dari total anggaran belanja negara. Berbagai peraturan dan program diusung. Larangan jual-beli buku di sekolah ditujukan untuk memutus rantai komesialisasi pendidikan di tingkat dasar dan agar tak ada siswa yang dipaksa membeli buku sementara keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkan. Larangan tersebut tidak berdiri sendiri. Segera setelahnya, dilaksanakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Insentif berupa uang dan buku disalurkan kepada sekolah yang memerlukan. Lalu dengan menunjukkan kepedulian akan permasalahan yang sama, yakni tentang kemudahan akses terhadap buku, website pemerintah kini menyediakan buku elektronik. Tujuannya agar sekolah memperbanyak buku tersebut dan siswa bisa mendapatkan buku murah.
Nyatanya, berbagai pungutan masih dilakukan di sekolah, baik untuk pembelian buku, uang SPP, maupun untuk menunjang kegiatan akademis dan non-akademis lain. Hingga kini, sekolah masih bisa dinilai mahal untuk sebagian kalangan.
Seandainya saja tidak ada faktor x yang menghambat semua program tersebut, tentu tidak ada halangan bagi membaiknya tingkat pendidikan di Indonesia. Penulis memasukkan aspek awareness dan willingness sebagai faktor yang menyendat perbaikan sektor ini.
Sebuah sistem yang baik memerlukan kesadaran (awareness) semua pihak yang tergabung di dalamnya. Guru harusnya menyadari bahwa kehadiran mereka sangat penting bagi pembentukan nilai kognisi, afeksi, dan behavioral siswa. Bayangkan pesan moral yang diterima saat siswa diajarkan mencontek dan berbohong; suatu legitimasi akan tindakan amoral lainnya di kehidupan mereka kelak. Sekolah harusnya berusaha membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu (kognisi), dari tidak suka menjadi suka (afeksi), untuk secara keseluruhan tercermin dalam perilaku siswa yang lebih baik. Sayang, banyak yang tidak sadar tujuan mendasar dari pendidikan ini. Dan seakan sudah terpengaruh sistem yang berlangsung, sedikit sekali wali murid yang memosisikan diri sebagai pengawas berlangsungnya pendidikan bagi anak mereka. Alhasil, dibutuhkan waktu yang lama untuk terbongkarnya berbagai kesalahan yang dibudidayakan dunia pendidikan.
Selanjutnya tentu saja diperlukan kemauan yang kuat (willingness) untuk mengatasi masalah ini. Tak hanya dari pihak-pihak terkait di sekolah, tetapi juga pemerintah. Diperlukan pengawasan ketat dalam implementasi kebijakan agar penyimpangan yang terjadi dapat cepat diluruskan. Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat pun harus dijalin agar laporan tentang berbagai penyimpangan dapat diutarakan langsung ke pemerintah dan meningkatkan sikap awas pendidikan.
Seandainya kedua hal tersebut digalakan, tak mustahil bagi kita untuk membentuk sosok-sosok seperti Ibu Mus dan Pak Harfan, tokoh-tokoh novel Laskar Pelangi yang digambarkan mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan. Orang-orang yang di bawah pengawasannya terlahir cendekia muda, permata bagi negeri ini.
Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran.
(Tulisan ini dimuat di Tribun Jabar edisi 4 Maret 2009)
peta bandung
Sabtu, 06 Juni 2009
Saat Kebijakan Pendidikan Tersendat Faktor X
Diposting oleh actum communication di 19.27
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
sulit memang..semasa penataran menjadi guru kita dididik menjadi orang yang memegang idealisme. namun pada pelaksanaan lapangannya seorang yang idealis itu akan tergusur kesolidan birokrasi yang telah ada. sudah bukan rahasia umum banyak pendidik yang menggunakan dana BOS untuk kepentingan staf sekolah sendiri dan hal itu membentuk konspirasi tersendiri yang lucunya seperti menjadi kontrol sosial yang harus dipatuhi komunalnya (pembaca lebih mengerti sanksi sosialnya, bukan?!).
Posting Komentar