Siraru (bahasa Sunda) atau laron adalah sejenis serangga yang selalu terbang menuju arah cahaya lampu. Hidupnya tak pernah lama karena setelah berkerumun di lampu, ia akan mati. Seandainya saja siraru punya kuasa untuk berpikir tentang kemungkinan yang lain, mana tahu justru di kegelapan ia akan bisa hidup lebih lama. Seperti itulah fenomena yang terjadi di kalangan musisi belakangan ini. Mereka bergerak mengikuti gemerlap panggung hiburan yang menggoda dengan tawaran materi dan ketenaran. Banyak yang berhasil dalam sekejap untuk kemudian tenggelam. Lalu banyak pula yang mati berkarya karena kalah bersaing dengan yang lainnya. “Seharusnya seniman tidak seperti Siraru, tidak mengikuti arah yang sama dengan semua orang. Sudah sepatutnya mereka menemukan apa yang tidak atau belum ditemukan orang lain.” Kurang lebih begitulah yang ingin dikatakan Dodong Kodir kepada rekan-rekannya sesama seniman. Filosofi seperti itu telah mengantarkan pria yang satu ini ke keadaannya yang sekarang. Seorang yang melintasi perbatasan negara dan benua untuk mempertunjukkan musik sampah bersama kelompok yang dibentuknya, Lungsuran Daur. Bermula dari kecintaannya pada seni, Dodong Kodir di tahun 70-an berguru pada R.Yuyun Kusumadinata, salah seorang tokoh tari senior Jawa Barat. Ia pun menjadi seorang seniman karawitan. Lalu sejak tahun 1980-an, Dodong mulai bereksplorasi untuk membuat alat musik. Hal itu dilakukannya untuk kebutuhan bunyi-bunyi khusus atau bunyi efek untuk pertunjukan tari. Bahan-bahan yang dipakai di antaranya adalah besi, kayu, bambu, plastik, batok kelapa, per, paralon, dan lainnya.
3 komentar:
Saya selalu percaya, semua yang ada di dunia ini bersifat relatif. Terkadang dia dapat dimaknai baik, tapi tak jarang juga sebaliknya. Alhasil, mengambil generalisasi dan makna integral dari dalamnya bisa dibilang mustahil. Siapa sangka kotoran manusia (tai) yang bagi sebagian orang tak berguna bahkan dijauhi adalah sumber kebahagiaan bagi sebagian orang.
Singkatnya, tak ada yang seutuhnya buruk maupun baik.
Hal serupa pun tampaknya berlaku bagi Siraru. Benarkah filosofi a-siraru (tidak bertindak seperti seekor siraru) dapat diterapkan pada seluruh kehidupan kita? Apalagi kalau dia adalah sebuah kajian yang filosofis.
Saya ingin berkata hal itu tidak mungkin.
Wallahu 'alam bish-showab
menurut aku semua bergantung manusianya.
mungkin dalam hal ini generalisasi gak terlalu tepat yah.
hmm.. masing-masing punya filosofi hidupnya.
--sari
Pake gambar ngpa??
Kynya asik kl da video senimannya...
Pusing liat tulisan aja
Posting Komentar