Oleh Hera Khaerani
Kata ‘biadab’ sudah terlanjur dibubuhi konotasi yang negatif hingga masyarakat lebih sering mengartikannya sebagai tindakan yang kejam, bengis, kurang ajar, atau tidak tahu adat. Tidak banyak yang tahu bahwa kata biadab juga kebalikan dari beradab—maka saat percetakan disebut biadab, ia sebenarnya merujuk pada kondisi percetakan yang belakangan terlihat mundur dari kebudayaan yang sudah ada.
Di Eropa sekitar tahun 1450 lalu, Johannes Gutenberg diakui sebagai penemu mesin cetak. Ia terlahir di Mainz, Jerman. Penciptaan mesin cetak miliknya barangkali terinspirasi oleh teknik memeras anggur di tanah kelahirannya, Rhineland. Dengan meminjam uang, ia memulai pekerjaan besarnya yang pertama (1456), yakni mencetak Alkitab.
Sebelum penemuan teknik cetak, semua buku harus ditulis tangan. Hal ini biasanya dikerjakan oleh para biarawan di biara. Sebuah buku dengan begitu menjadi barang yang sangat berharga hingga hanya orang kaya yang dapat memilikinya. Membaca dan menulis hanya terbatas pada segelintir orang berpendidikan (Georg Scheder).
Revolusi percetakan yang dipelopori oleh Gutenberg itu telah membuat produksi secara massal dapat diwujudkan, dan pada akhirnya membuat produksi lebih cepat dan murah. Alhasil, buku dan tentu saja ilmu pengetahuan, dapat dinikmati pula oleh kalangan ‘biasa’.
Kini telah lewat lima abad sejak masa itu dan di Indonesia sendiri sudah ada banyak percetakan. Logikanya, semakin banyak percetakan maka buku akan semakin murah hingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, kita justru kembali ke masa di mana terdapat banyak buku yang hanya dapat dimiliki atau diakses oleh orang-orang kaya. Inilah yang penulis maksud dengan kemunduran peradaban—yang pada akhirnya melahirkan frase percetakan biadab.
Persoalan budaya baca
Saat ini pemerintah seolah ingin berpuas diri dengan meningkatnya angka melek huruf. Padahal kalau kita ingin jujur, persaingan secara global baru bisa kita imbangi jika kualitas manusia Indonesia ditingkatkan, dimulai dari peningkatan angka “melek baca”.
Tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah memang tak sepenuhnya bersikap acuh. Hal ini terbukti dengan terus ditingkatkannya anggaran untuk pendidikan, adanya program bantuan operasional sekolah (BOS), dan disediakannya buku-buku elektronik (ebook) pelajaran sekolah yang dapat diunduh di situs pemeritah. Bahkan, 23 Februari lalu model toko buku mobil diluncurkan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pendidikan Nasional, Depok.
Toko buku mobil tersebut rencananya akan beroperasi ke kabupaten-kabupaten terutama yang di daerahnya belum tersedia toko buku. Hal ini dilakukan untuk menjangkau seluruh pelosok dengan fokus utama kemudahan akses masyrakat terhadap buku pelajaran murah, berkisar Rp4.452 per eksemplar.
Terlepas dari berbagai kegagalan yang sudah-sudah karena banyaknya penyelewengan terhadap realisasi kebijakan-kebijakan tersebut di kehidupan nyata, tampaknya masih ada elemen penting yang luput dari perhatian pemerintah. Selama ini mereka terfokus pada buku-buku pelajaran sekolah (textbook). Lantas bagaimana halnya dengan akses masyarakat terhadap buku-buku lainnya?
Buku jendela ilmu
Dalam Bukuku Kakiku (Gramedia: 2004), tak kurang dari 22 tokoh besar Indonesia mengungkapkan betapa besar peran bacaan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petinju, agamawan, dosen, wartawan, pebisnis, peneliti, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), budayawan, hingga ekonom, menceritakan arti buku bagi mereka dan akhirnya bertemu pada persinggungan yang sama. Mereka mengakui bahwa bacaan sangat berpengaruh pada hidup mereka, baik terhadap perkembangan minat, pengambilan keputusan, karir, bahkan arah hidup.
Perhatikanlah bagaimana para sastrawan besar, baik di luar maupun di dalam negeri, mampu berkarya karena telah memperkaya pengetahuannya melalui bacaan yang sesuai minat dan bidangnya. Begitu pula dengan bidang-bidang yang lain.
Persoalan akses terhadap buku ini bukanlah persoalan yang sepele. Ada ungkapan yang berbunyi, “Anda adalah apa yang Anda baca.” Artinya, tinggi-rendahnya kualitas seseorang dapat diketahui dari jumlah dan kualitas bacaannya. Di tengah euforia untuk membuat Indonesia siap bersaing di kancah internasional, harusnya kita memperhatikan indikator tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa, yakni dari jumlah karya tulis yang dibaca dan dihasilkan oleh bangsa tersebut.
Masih sulitnya bagi masyarakat untuk memperoleh bacaan turut berdampak pada masih sedikitnya karya yang ditulis bangsa Indonesia. Sebagai contoh, dengan jumlah penduduk yang besar dan permasalahan sosial yang bertumpuk-tumpuk, nyatanya belum banyak penulis ataupun akademisi yang mengaji isu-isu sosial untuk disertakan dalam persaingan intelektual tingkat dunia. Persoalan sosial negeri ini justru lebih banyak dikaji oleh orang-orang asing.
Hal yang sama juga terjadi di bidang sastra, film, dan yang lainnya. Hanya sedikit insan dalam negeri yang mampu mempersaingkan karyanya di tingkat internasional. Dan dari yang segelintir itu, kita akan tahu bahwa mereka secara tidak langsung bisa menghasilkan karya yang berkualitas berkat buku-buku yang pernah mereka baca.
Buku murah
Mahalnya harga buku tak sepenuhnya disebabkan oleh percetakan yang bersifat komersil. Mahalnya ongkos produksi, mulai dari bahan baku hingga pajak kertas dan buku, turut mempengaruhi hal ini. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan, harusnya melihat hal ini sebagai aspek yang perlu pembenahan. Kita tak perlu malu untuk berkaca pada beberapa negara lain. Seperti India yang mampu menyediakan buku yang murah bagi warganya, baik buku-buku dalam negeri maupun yang diimpor dari negara lain. Lalu ada Singapura yang memberlakukan pajak nol persen untuk buku.
Di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang tidak memiliki perpustakaan daerah, sebagai wujud kepedulian pemerintah setempat untuk memberikan akses terhadap buku bagi warganya. Dicanangkannya proyek toko buku mobil, mudah-mudahan dapat menjadi penyelesaian yang baik untuk persoalan ini.
Lalu, kepedulian keluarga terhadap bacaan bagi seluruh anggota keluarga juga sama pentingnya. Semakin cepat seorang anak diajarkan dan terbiasa membaca, maka peningkatan angka melek baca di Indonesia juga bisa lebih cepat. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, hal ini akan berdampak pada jumlah karya tulis yang dihasilkan. Pihak yang paling dekat dengan seorang anak adalah keluarga di rumah. Tingkat perekonomian yang terpaksa terkonsentrasi pada mempertahankan asap di dapur daripada untuk membeli buku, merupakan persoalan serius yang selama ini mengganjal. Karenanya pemerintah harus membuat buku cukup terjangkau untuk dapat dibeli oleh rumah tangga. Dengan demikian, keluarga menjadi agen dalam penyebaran budaya baca yang paling awal.
Jika buku diibaratkan jendela. Kesuksesan pemerintah untuk menyediakan buku yang lebih terjangkau untuk masyarakat adalah upaya membuka jendela itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran.
(Tulisan ini pernah dimuat di Bandung Ekspres).
peta bandung
Sabtu, 06 Juni 2009
Percetakan Biadab
Diposting oleh actum communication di 19.17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Dukung untuk harga buku lebih murah!
Untuk pajak kertas dikurangi!
Biar pendidikan lebih baik!!!
Posting Komentar