our post

welcome to actum communication

peta bandung

Sabtu, 06 Juni 2009

Perempuan Dalam Penentuan Kebijakan

Oleh Hera Khaerani

Kurang dari tiga minggu menjelang pertarungan yang sebenarnya dalam pemilihan umum, para calon anggota legislatif perempuan masih mengkhawatirkan tentang keterwakilan perempuan di badan tersebut. Kecemasan mereka terutama disebabkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus pasal 124 dalam undang-undang pemilu, tentang sistem nomor urut dalam pemilu.

Dengan melakukan hal ini, MK bermaksud memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kandidat, tanpa pertimbangan gender. Banyak yang berpendapat bahwa keputusan tersebut mengurangi kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Komisi Pemilihan Umum bahkan merencanakan untuk mengadopsi zipper system untuk mengatasi situasi ini—memastikan bahwa satu dari tiga kandidat yang terpilih dari partai politik atau daerah pemilihan, adalah caleg perempuan.

Perempuan dan kebijakan
Indonesia adalah salah satu negara peserta Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Pada 24 Juli 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW melalui pemberlakuan UU RI No.7 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Termasuk di dalamnya adalah tentang kewajiban negara peserta untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Khususnya menjamin hak yang sama bagi perempuan untuk memilih dan dipilih, berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat, serta untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Semuanya atas dasar persamaan dengan laki-laki.

Berdasarkan hal itu, wacana tentang zipper system harusnya dikaji lebih bijak. Bukankah ia lebih menunjukkan diskriminasi kepada perempuan—seolah tanpa kebijakan tersebut perempuan tidak akan mampu bersaing? Terlebih, kalau calon anggota legislatif perempuan ingin diakui secara utuh keberadaannya. Harusnya kewajiban mereka untuk menjaga stabilitas politik juga dilaksanakan. Bayangkan jika ternyata jumlah suara tertinggi menyatakan tiga caleg terpilih dari partai politik atau daerah pemilihan itu semuanya laki-laki, lalu salah satunya harus digantikan oleh caleg perempuan dengan suara lebih rendah. Tentu kondisi tersebut dapat menimbulkan sejumlah persoalan.

Ini juga bisa diartikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap kekuatan suara rakyat. Apa gunanya memilih jika pada akhirnya suara rakyat tak sepenuhnya menentukan hasil pemilihan?

Terlepas dari kebijakan yang masih bisa diperdebatkan itu, mari kita kaji seberapa pentingnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai landasan pentingnya perempuan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan, di antaranya adalah karena perempuan mempunyai nilai, kebutuhan, dan kepentingan yang berbeda dari laki-laki. Keterwakilan mereka diharapkan dapat memenuhi semua hal itu.

Keikutsertaan perempuan diharapkan dapat menjadi langkah untuk memperjuangkan hak asasi perempuan, memperjuangkan kebijakan dan pengurangan angka kematian ibu, kesehatan reproduksi bagi perempuan dan laki-laki, anggaran yang responsif gender, juga menolak segala bentuk kekerasan, dan sebagainya.

Selain itu, minimnya keterwakilan perempuan di pemerintahan dianggap turut mengakibatkan persoalan perempuan tidak terselesaikan. Contohnya buta aksara perempuan di atas laki-laki, yakni 12,4 persen sementara laki-laki 5,6 persen.
Di pemilu 2004, keterwakilan perempuan di berbagai posisi strategis belum terpenuhi, hanya 11 persen yang duduk di DPR. Sementara sekarang, jumlah total caleg perempuan 3.910 orang atau 34,6 persen. Dan dari 1.116 calon anggota DPR, ada 129 calon perempuan.

Rakyat memilih
The world is full of willing people; some willing to work, the rest willing to let them (Robert Frost: 1967). Dilihat dari segi kuantitas, jumlah caleg perempuan sudah meningkat jauh daripada pemilu sebelumnya. Namun, ini tak dapat memastikan bahwa sebagian besar di antaranya akan mendapat suara yang cukup untuk menjadi anggota legislatif. Jumlah caleg perempuan juga tak dapat memastikan bahwa semua penduduk perempuan di Indonesia, yakni sejumlah 241.973.879 jiwa, akan memilih mereka.
Upaya meyakinkan publik bahwa keterwakilan perempuan memang bisa membawa perubahan, masih menjadi pekerjaan rumah yang paling berat untuk para caleg. Periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tak luput dari pertimbangan. Sejumlah posisi strategis diberikan kepada perempuan, di antaranya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Signifikansi perempuan dalam posisi strategis patut dipertanyakan saat kedua menteri perempuan tersebut belum mampu menangani persoalan yang secara langsung menyangkut perempuan. Beberapa di antaranya adalah kasus penjualan anak dan perempuan, penyiksaan terhadap tenaga kerja wanita di luar negeri, dan seterusnya.
Lalu berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan tertinggi dalam kasus aborsi di ASEAN. Sekitar 2,3 juta aborsi terjadi tiap tahunnya, karena kehamilan yang tidak diinginkan. Terbongkarnya sejumlah tempat aborsi di berbagai pelosok negeri mempertegas hal ini.

Pada 26 Februari lalu, Kapolsek Johar Baru Jakarta membongkar sebuah praktik aborsi yang beroperasi selama 10 tahun dan telah memakan korban ribuan janin. Sebelumya di Bekasi, Bandar Lampung, Maluku, Kupang, dan Manado juga dibongkar kasus yang serupa. Banyak pelaku yang akhirnya meninggal dunia karena aborsi secara tidak aman.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat korban aborsi pada 2006sekitar 2 juta jiwa. Tahun berikutnya naik 300 ribu menjadi 2,3 juta janin yang dibuang dengan paksa. Angka ini terus meningkat pada 2008, hingga mencapai 2,5 juta jiwa. (Media Indonesia, 8/3).

Kenyataan yang memilukan tersebut sudah sepatutnya menimbulkan tanda tanya besar atas absennya tindakan nyata perempuan di posisi strategis penentu kebijakan.
Seperti yang pernah diucapkan Horace (1967), “Those who want much are always much in need.” Para caleg perempuan telah terlalu fokus menghitung jumlah, sampai-sampai aspek kualitas dikesampingkan.

Ada hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan aktivis perempuan di tanah air, antara lain ekonomi dan pendidikan perempuan. Minimnya perempuan terjun ke politik turut dipengaruhi kedua aspek ini. Lalu, kekurangan dana juga menyebabkan mereka tak bisa berpolitik praktis. Aktivis perempuan harusnya memberikan tim asistensi dan tim sukses kepada caleg perempuan dalam upaya mengatasi persoalan tersebut.

Jika sebelumnya Barack Obama memperkenalkan slogan “Yes, we can!” dan sejumlah caleg menggunakan slogan “Believe in me!” Mungkin yang sedang dinanti-nanti rakyat saat ini adalah untuk seseorang mengatakan “I care!”—“Saya peduli!” dan bersungguh-sungguh menunjukannya.

Penulis, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran
(Tulisan ini dimuat di harian Merdeka edisi 28 Maret 2009).

0 komentar: