Siraru (bahasa Sunda) atau laron adalah sejenis serangga yang selalu terbang menuju arah cahaya lampu. Hidupnya tak pernah lama karena setelah berkerumun di lampu, ia akan mati. Seandainya saja siraru punya kuasa untuk berpikir tentang kemungkinan yang lain, mana tahu justru di kegelapan ia akan bisa hidup lebih lama. Seperti itulah fenomena yang terjadi di kalangan musisi belakangan ini. Mereka bergerak mengikuti gemerlap panggung hiburan yang menggoda dengan tawaran materi dan ketenaran. Banyak yang berhasil dalam sekejap untuk kemudian tenggelam. Lalu banyak pula yang mati berkarya karena kalah bersaing dengan yang lainnya. “Seharusnya seniman tidak seperti Siraru, tidak mengikuti arah yang sama dengan semua orang. Sudah sepatutnya mereka menemukan apa yang tidak atau belum ditemukan orang lain.” Kurang lebih begitulah yang ingin dikatakan Dodong Kodir kepada rekan-rekannya sesama seniman. Filosofi seperti itu telah mengantarkan pria yang satu ini ke keadaannya yang sekarang. Seorang yang melintasi perbatasan negara dan benua untuk mempertunjukkan musik sampah bersama kelompok yang dibentuknya, Lungsuran Daur. Bermula dari kecintaannya pada seni, Dodong Kodir di tahun 70-an berguru pada R.Yuyun Kusumadinata, salah seorang tokoh tari senior Jawa Barat. Ia pun menjadi seorang seniman karawitan. Lalu sejak tahun 1980-an, Dodong mulai bereksplorasi untuk membuat alat musik. Hal itu dilakukannya untuk kebutuhan bunyi-bunyi khusus atau bunyi efek untuk pertunjukan tari. Bahan-bahan yang dipakai di antaranya adalah besi, kayu, bambu, plastik, batok kelapa, per, paralon, dan lainnya.
peta bandung
Minggu, 07 Juni 2009
Masihkah Adzan Menjadi Panggilan Shalat?
Lima kali sehari kita mendengar adzan sesuai dengan waktu-waktu shalat wajib. Tentu saja ini karena adzan itu merupakan panggilan shalat, sebuah ajakan bagi umat muslim. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adzan bersahut-sahutan antara satu masjid dengan yang lainnya. Tapi kemudian hal ini memunculkan pertanyaan, “Seberapa sukses panggilan, atau komunikasi yang dilakukan melalui adzan itu jika nyatanya banyak yang tidak langsung terpanggil untuk shalat?” Coba saja main ke Masjid Agung di Alun-Alun Bandung, dan lihat kesibukan yang melanda orang-orang di sana saat adzan berkumandang. Masih banyak yang sibuk dengan kegiatan jual beli. Padahal kalau di Saudi Arabia, semua toko akan ditutup setiap menjelang adzan dan kalau ada yang kedapatan melakukan kegiatan jual-beli pada saat itu, maka satuan keamanan tidak akan segan-segan untuk menindak. Satu kasus yang spesifik ini pada akhirnya menunjukkan bagaimana agama sebagai budaya yang seringkali menentukan nilai etis, memerlukan dukungan perangkat hukum yang jelas. Yah, itu kalau kita mau menerapkan hal yang sama. Kalau untuk Indonesia, agaknya hal ini jauh dari jangkauan mengingat negara ini terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Pentingnya hal ini untuk dibahas adalah tentang bagaimana nilai etis atau etika juga norma akan didukung jika ada hukum yang mengaturnya. Ini demi Indonesia yang lebih baik, lebih disiplin dan teratur. (HR)
catatan: karena kesalahan teknis, rekamannya belum bisa di-publish
Diposting oleh actum communication di 03.57 5 komentar
Sabtu, 06 Juni 2009
CO2 dan Global warming
Padangan banyak orang adalah peningkatan CO2 (Karbondioksida) di udara mengakibatkan pemanasan global.
Mari kita komunikasikan dalam pandangan lain (other look)
Lagi-lagi, dosen kimia saya, Indra Noviandri, mengatakan bahwa, suatu saat, justru pemanasan itulah yang menyebabkan peningkatan kuantitas CO2 di udara.
Pernyataannya tersebut sama sekali bertolak belakang dengan apa yang sering saya dengar di media.
Bapak Indra memulai penjelasan bahwa ketika CO2 jika dipanaskan, ia akan berubah wujud menjadi gas. Bahkan pada suhu ruangan CO2 telah berwujud gas. Namun, tidak selamanya CO2 berwujud gas. Pada kondisi tertentu CO2 berwujud cair bahkan padat.
jika terjadi pemanasan, CO2 yang tadinya bersifat cair dan padat akan berubah menjadi gas. Hanya perlu temperatur -65,65 C (tekanan 1 Atm) untuk berubah menjadi gas. CO2 yang tadinya larut dalam air akan menguap dan bertambah di udara.
Singkatnya, pemanasanlah yang menyebabkan bertambahnya kuantitas CO2 di udara.
Dari mana panas tersebut muncul???
Penjelasannya berkembang ke ilmu Astronomi. Sunspot, bintik hitam pada matahari.
Sunspot merupakan ledakan yang terjadi di permukaan matahari. Temperaturnya lebih redah dari sekelilingnya, tapi masih terlalu panas jika diukur (sekitar 4000 - 5000 kelvin). Karena temperaturnya lebih rendah, sunspot terlihat seperti bintik hitam di bumi.
Pada saat tertentu, ledakan terjadi lebih sering di matahari. akibatnya, matahari meradiasikan lebih banyak energi ke bumi. Energi yang kita terima biasanya adalah panas. Jika matahari mengirim lebih banyak energi, akibatnya suhu di bumi akan meningkat.
Hal inilah yang kemudian menjadi sumber panas di bumi dan lalu menguapkan lebih banyak karbon dioksida. (NA)
Diposting oleh actum communication di 22.02 4 komentar
Label: other look
Heran, Terlalu Sering Sakit Gigi?
baru-baru ini seorang teman mengeluh kepada saya bahwa giginya sakit lagi. padahal belum dua bulan yang lalu dia mengunjungi dokter gigi.
Dokter menyarankan dia untuk mencabut giginya. tapi dia menolak.
"Gw masih muda, masa udah ompong."
saya hanya tertawa mendengarnya..
Saya jadi teringat perkataan seorang dosen Kimia saya, Indra Noviandri.
"gigi akan menjadi rapuh jika terkena asam. karena gigi mengandung Flor (F) yang sangat reaktif dengan asam..."
Bagaimana dengan gula?
gula sama sekali tidak asam, justru manis.
Bapak Indra Noviandri menjelaskan bahwa zat yang manis memang tidak memberikan pengaruh kepada gigi. Namun zat manis tersebut menjadi bahan makanan bagi bakteri yang ada di mulut.
"Nah, zat sisa pengolahan bakteri tadi bersifat asam. hal ini bisa menyebabkan gigi berlubang"
Setidaknya, seperti itulah sederhananya penjelasan kenapa gigi bisa berlubang secara kacamata kimia...
saya menjelaskan hal ini kepada teman saya... dan dia tersenyum sambil memegang sebelah pipinya. (NA)
Diposting oleh actum communication di 21.20 5 komentar
Label: other look
Saat Kebijakan Pendidikan Tersendat Faktor X
Oleh Hera Khaerani
Seorang guru sedang berbicara pada muridnya di depan kelas, “Nanti kalau pengawas datang dan menanyakan tentang buku yang kalian beli, bilang saja kalian sengaja beli sendiri ya.” Meski tak mengerti, anak-anak kecil itu mengangguk. Di rumah, masalah itu ditanyakan kepada orang tua mereka. Sebagian orang tua mereka menjadi kesal, meski tak berniat menegur. Sebagian lain pasrah saja karena berharap kedamaian bagi anaknya di sekolah.
Saya sendiri hanya mampu mengelus dada saat sepupu saya membicarakan hal itu. Lagi-lagi, nilai merah bagi rapor dunia pendidikan; sebuah kebohongan yang sering dipraktikkan sekolah-sekolah di Indonesia. Padahal, peraturan pemerintah berisi larangan bagi guru atau sekolah menjual buku pada anak muridnya sudah dikeluarkan sejak tiga tahun silam.
Itu hanya salah satu contoh kecurangan yang terjadi di dunia pendidikan. Sama kasusnya dengan sekolah yang tertekan oleh target tingkat kelulusan hingga akhirnya memberikan kunci jawaban kepada siswa saat ujian, yang terjadi adalah penerobosan celah-celah di dunia pendidikan. Artikel ini bermaksud membahas kinerja pemerintah dalam sektor pendidikan dengan perbandingan hasil nyatanya di lapangan, untuk kemudian mencari solusi yang diperlukan.
Kebijakan Pendidikan
Begitu mudah bagi kita untuk menyalahkan pemerintah dalam hal “ini dan itu”. Tapi seberapa seringkah kita introspeksi dan menyadari bahwa sebenarnya kita juga turut menjadi kunci keberhasilan mereka?
Dalam upaya memajukan sektor pendidikan, pemerintah berupaya menaikkan anggaran pendidikan menuju standar dua puluh persen dari total anggaran belanja negara. Berbagai peraturan dan program diusung. Larangan jual-beli buku di sekolah ditujukan untuk memutus rantai komesialisasi pendidikan di tingkat dasar dan agar tak ada siswa yang dipaksa membeli buku sementara keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkan. Larangan tersebut tidak berdiri sendiri. Segera setelahnya, dilaksanakan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Insentif berupa uang dan buku disalurkan kepada sekolah yang memerlukan. Lalu dengan menunjukkan kepedulian akan permasalahan yang sama, yakni tentang kemudahan akses terhadap buku, website pemerintah kini menyediakan buku elektronik. Tujuannya agar sekolah memperbanyak buku tersebut dan siswa bisa mendapatkan buku murah.
Nyatanya, berbagai pungutan masih dilakukan di sekolah, baik untuk pembelian buku, uang SPP, maupun untuk menunjang kegiatan akademis dan non-akademis lain. Hingga kini, sekolah masih bisa dinilai mahal untuk sebagian kalangan.
Seandainya saja tidak ada faktor x yang menghambat semua program tersebut, tentu tidak ada halangan bagi membaiknya tingkat pendidikan di Indonesia. Penulis memasukkan aspek awareness dan willingness sebagai faktor yang menyendat perbaikan sektor ini.
Sebuah sistem yang baik memerlukan kesadaran (awareness) semua pihak yang tergabung di dalamnya. Guru harusnya menyadari bahwa kehadiran mereka sangat penting bagi pembentukan nilai kognisi, afeksi, dan behavioral siswa. Bayangkan pesan moral yang diterima saat siswa diajarkan mencontek dan berbohong; suatu legitimasi akan tindakan amoral lainnya di kehidupan mereka kelak. Sekolah harusnya berusaha membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu (kognisi), dari tidak suka menjadi suka (afeksi), untuk secara keseluruhan tercermin dalam perilaku siswa yang lebih baik. Sayang, banyak yang tidak sadar tujuan mendasar dari pendidikan ini. Dan seakan sudah terpengaruh sistem yang berlangsung, sedikit sekali wali murid yang memosisikan diri sebagai pengawas berlangsungnya pendidikan bagi anak mereka. Alhasil, dibutuhkan waktu yang lama untuk terbongkarnya berbagai kesalahan yang dibudidayakan dunia pendidikan.
Selanjutnya tentu saja diperlukan kemauan yang kuat (willingness) untuk mengatasi masalah ini. Tak hanya dari pihak-pihak terkait di sekolah, tetapi juga pemerintah. Diperlukan pengawasan ketat dalam implementasi kebijakan agar penyimpangan yang terjadi dapat cepat diluruskan. Komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat pun harus dijalin agar laporan tentang berbagai penyimpangan dapat diutarakan langsung ke pemerintah dan meningkatkan sikap awas pendidikan.
Seandainya kedua hal tersebut digalakan, tak mustahil bagi kita untuk membentuk sosok-sosok seperti Ibu Mus dan Pak Harfan, tokoh-tokoh novel Laskar Pelangi yang digambarkan mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan. Orang-orang yang di bawah pengawasannya terlahir cendekia muda, permata bagi negeri ini.
Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran.
(Tulisan ini dimuat di Tribun Jabar edisi 4 Maret 2009)
Diposting oleh actum communication di 19.27 1 komentar
Kenapa Malu Berbahasa Sunda?
Pelatih : Dari majalah mana Mbak?
Pewawancara : Saya masih kuliah Pak, ini untuk kepentingan kuliah.
Pelatih : Haha, kalau mau wawacara anak-anak ini mah biasanya dari majalah
Trubus.
Atlet : Yee…dari Mangle aja sekalian. ”Dina hiji titimangsa…terektektektek.”
Saya tersentak saat itu. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah tersenyum miris. Di hadapan saya seorang remaja sedang menghina sebuah majalah karena menggunakan bahasa ibunya sendiri.
Secara tertulis di Indonesia itu seharusnya berlangsung desentralisasi pendidikan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kondisi sosiogeografis Indonesia yang selain luas dan berpulau-pulau, juga terdiri dari berbagai suku bangsa.
Dengan diterapkannya desentralisasi pendidikan, semua potensi masing-masing daerah diharapkan bisa berkembang tanpa terpengaruh potensi daerah-daerah lainnya. Namun sebagaimana halnya potensi-potensi tersebut yang tidak tergali dan dikembangkan dengan baik, kekayaan daerah justru turut terkubur.
Di perpustakaan Leiden Belanda, sejumlah karya sastra Indonesia dari berbagai daerah dan bahasa terdokumentasikan dengan baik. Di sinilah letak perbedaan bangsa ini dengan sejumlah bangsa lain dengan peradaban yang lebih maju. Bangsa beradab tentu tahu arti pentingnya sejarah dan upaya menyelamatkan berbagai bentuk sejarah itu. Bahasa sebagai teknologi komunikasi pertama yang paling mutakhir tentu saja dapat hilang jika tidak lagi dipergunakan dan didokumentasikan.
Fenomena yang muncul sekarang ini sebagaimana yang terjadi pada remaja yang saya wawancarai adalah, malunya orang Sunda untuk menggunakan bahasa ibunya. Hal ini terus meningkat sejak era pemerintahan Soeharto di mana sekolah yang dulu menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu masing-masing, diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat pasal 33 pada bab VII yang berisi tentang bahasa pengantar. Berikut ini setiap ayatnya:
1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Hal yang diniatkan untuk kebaikan memang terkadang tak berujung baik. Bisa dimengerti kalau pemerintah bertujuan untuk menyatukan kemajemukan bangsa ini dengan menggunakan bahasa. Lembaga pendidikan tak ubahnya media di mana setiap budaya dilem dan dipersatukan.
Hanya saja, mungkin persoalan punahnya bahasa daerah seperti yang mulai terjadi sekarang ini adalah salah satu hal yang belum diperkirakan pemerintah. Ditambah dengan peran media massa yang baik secara sengaja maupun tidak sengaja telah memupuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa daerah semakin jauh ditinggalkan oleh anak bangsa.
Kita semua diciptakan berbeda dan perbedaan itulah yang justru membuatnya indah. Jika seragam sekolah dulu diciptakan untuk menghapuskan kesenjangan sosial namun pada kenyataannya justru menjadi beban sejumlah kalangan, tak ada salahnya jika ia diubah. Mari hapuskan keseragaman, karena keberagaman itu indah. (HR)
Diposting oleh actum communication di 19.23 2 komentar
Perempuan Dalam Penentuan Kebijakan
Oleh Hera Khaerani
Kurang dari tiga minggu menjelang pertarungan yang sebenarnya dalam pemilihan umum, para calon anggota legislatif perempuan masih mengkhawatirkan tentang keterwakilan perempuan di badan tersebut. Kecemasan mereka terutama disebabkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus pasal 124 dalam undang-undang pemilu, tentang sistem nomor urut dalam pemilu.
Dengan melakukan hal ini, MK bermaksud memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kandidat, tanpa pertimbangan gender. Banyak yang berpendapat bahwa keputusan tersebut mengurangi kemungkinan bagi perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Komisi Pemilihan Umum bahkan merencanakan untuk mengadopsi zipper system untuk mengatasi situasi ini—memastikan bahwa satu dari tiga kandidat yang terpilih dari partai politik atau daerah pemilihan, adalah caleg perempuan.
Perempuan dan kebijakan
Indonesia adalah salah satu negara peserta Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Pada 24 Juli 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW melalui pemberlakuan UU RI No.7 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Termasuk di dalamnya adalah tentang kewajiban negara peserta untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Khususnya menjamin hak yang sama bagi perempuan untuk memilih dan dipilih, berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat, serta untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Semuanya atas dasar persamaan dengan laki-laki.
Berdasarkan hal itu, wacana tentang zipper system harusnya dikaji lebih bijak. Bukankah ia lebih menunjukkan diskriminasi kepada perempuan—seolah tanpa kebijakan tersebut perempuan tidak akan mampu bersaing? Terlebih, kalau calon anggota legislatif perempuan ingin diakui secara utuh keberadaannya. Harusnya kewajiban mereka untuk menjaga stabilitas politik juga dilaksanakan. Bayangkan jika ternyata jumlah suara tertinggi menyatakan tiga caleg terpilih dari partai politik atau daerah pemilihan itu semuanya laki-laki, lalu salah satunya harus digantikan oleh caleg perempuan dengan suara lebih rendah. Tentu kondisi tersebut dapat menimbulkan sejumlah persoalan.
Ini juga bisa diartikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap kekuatan suara rakyat. Apa gunanya memilih jika pada akhirnya suara rakyat tak sepenuhnya menentukan hasil pemilihan?
Terlepas dari kebijakan yang masih bisa diperdebatkan itu, mari kita kaji seberapa pentingnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai landasan pentingnya perempuan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan, di antaranya adalah karena perempuan mempunyai nilai, kebutuhan, dan kepentingan yang berbeda dari laki-laki. Keterwakilan mereka diharapkan dapat memenuhi semua hal itu.
Keikutsertaan perempuan diharapkan dapat menjadi langkah untuk memperjuangkan hak asasi perempuan, memperjuangkan kebijakan dan pengurangan angka kematian ibu, kesehatan reproduksi bagi perempuan dan laki-laki, anggaran yang responsif gender, juga menolak segala bentuk kekerasan, dan sebagainya.
Selain itu, minimnya keterwakilan perempuan di pemerintahan dianggap turut mengakibatkan persoalan perempuan tidak terselesaikan. Contohnya buta aksara perempuan di atas laki-laki, yakni 12,4 persen sementara laki-laki 5,6 persen.
Di pemilu 2004, keterwakilan perempuan di berbagai posisi strategis belum terpenuhi, hanya 11 persen yang duduk di DPR. Sementara sekarang, jumlah total caleg perempuan 3.910 orang atau 34,6 persen. Dan dari 1.116 calon anggota DPR, ada 129 calon perempuan.
Rakyat memilih
The world is full of willing people; some willing to work, the rest willing to let them (Robert Frost: 1967). Dilihat dari segi kuantitas, jumlah caleg perempuan sudah meningkat jauh daripada pemilu sebelumnya. Namun, ini tak dapat memastikan bahwa sebagian besar di antaranya akan mendapat suara yang cukup untuk menjadi anggota legislatif. Jumlah caleg perempuan juga tak dapat memastikan bahwa semua penduduk perempuan di Indonesia, yakni sejumlah 241.973.879 jiwa, akan memilih mereka.
Upaya meyakinkan publik bahwa keterwakilan perempuan memang bisa membawa perubahan, masih menjadi pekerjaan rumah yang paling berat untuk para caleg. Periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tak luput dari pertimbangan. Sejumlah posisi strategis diberikan kepada perempuan, di antaranya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
Signifikansi perempuan dalam posisi strategis patut dipertanyakan saat kedua menteri perempuan tersebut belum mampu menangani persoalan yang secara langsung menyangkut perempuan. Beberapa di antaranya adalah kasus penjualan anak dan perempuan, penyiksaan terhadap tenaga kerja wanita di luar negeri, dan seterusnya.
Lalu berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan tertinggi dalam kasus aborsi di ASEAN. Sekitar 2,3 juta aborsi terjadi tiap tahunnya, karena kehamilan yang tidak diinginkan. Terbongkarnya sejumlah tempat aborsi di berbagai pelosok negeri mempertegas hal ini.
Pada 26 Februari lalu, Kapolsek Johar Baru Jakarta membongkar sebuah praktik aborsi yang beroperasi selama 10 tahun dan telah memakan korban ribuan janin. Sebelumya di Bekasi, Bandar Lampung, Maluku, Kupang, dan Manado juga dibongkar kasus yang serupa. Banyak pelaku yang akhirnya meninggal dunia karena aborsi secara tidak aman.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat korban aborsi pada 2006sekitar 2 juta jiwa. Tahun berikutnya naik 300 ribu menjadi 2,3 juta janin yang dibuang dengan paksa. Angka ini terus meningkat pada 2008, hingga mencapai 2,5 juta jiwa. (Media Indonesia, 8/3).
Kenyataan yang memilukan tersebut sudah sepatutnya menimbulkan tanda tanya besar atas absennya tindakan nyata perempuan di posisi strategis penentu kebijakan.
Seperti yang pernah diucapkan Horace (1967), “Those who want much are always much in need.” Para caleg perempuan telah terlalu fokus menghitung jumlah, sampai-sampai aspek kualitas dikesampingkan.
Ada hal-hal mendasar yang perlu diperhatikan aktivis perempuan di tanah air, antara lain ekonomi dan pendidikan perempuan. Minimnya perempuan terjun ke politik turut dipengaruhi kedua aspek ini. Lalu, kekurangan dana juga menyebabkan mereka tak bisa berpolitik praktis. Aktivis perempuan harusnya memberikan tim asistensi dan tim sukses kepada caleg perempuan dalam upaya mengatasi persoalan tersebut.
Jika sebelumnya Barack Obama memperkenalkan slogan “Yes, we can!” dan sejumlah caleg menggunakan slogan “Believe in me!” Mungkin yang sedang dinanti-nanti rakyat saat ini adalah untuk seseorang mengatakan “I care!”—“Saya peduli!” dan bersungguh-sungguh menunjukannya.
Penulis, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran
(Tulisan ini dimuat di harian Merdeka edisi 28 Maret 2009).
Diposting oleh actum communication di 19.19 0 komentar
Percetakan Biadab
Oleh Hera Khaerani
Kata ‘biadab’ sudah terlanjur dibubuhi konotasi yang negatif hingga masyarakat lebih sering mengartikannya sebagai tindakan yang kejam, bengis, kurang ajar, atau tidak tahu adat. Tidak banyak yang tahu bahwa kata biadab juga kebalikan dari beradab—maka saat percetakan disebut biadab, ia sebenarnya merujuk pada kondisi percetakan yang belakangan terlihat mundur dari kebudayaan yang sudah ada.
Di Eropa sekitar tahun 1450 lalu, Johannes Gutenberg diakui sebagai penemu mesin cetak. Ia terlahir di Mainz, Jerman. Penciptaan mesin cetak miliknya barangkali terinspirasi oleh teknik memeras anggur di tanah kelahirannya, Rhineland. Dengan meminjam uang, ia memulai pekerjaan besarnya yang pertama (1456), yakni mencetak Alkitab.
Sebelum penemuan teknik cetak, semua buku harus ditulis tangan. Hal ini biasanya dikerjakan oleh para biarawan di biara. Sebuah buku dengan begitu menjadi barang yang sangat berharga hingga hanya orang kaya yang dapat memilikinya. Membaca dan menulis hanya terbatas pada segelintir orang berpendidikan (Georg Scheder).
Revolusi percetakan yang dipelopori oleh Gutenberg itu telah membuat produksi secara massal dapat diwujudkan, dan pada akhirnya membuat produksi lebih cepat dan murah. Alhasil, buku dan tentu saja ilmu pengetahuan, dapat dinikmati pula oleh kalangan ‘biasa’.
Kini telah lewat lima abad sejak masa itu dan di Indonesia sendiri sudah ada banyak percetakan. Logikanya, semakin banyak percetakan maka buku akan semakin murah hingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, kita justru kembali ke masa di mana terdapat banyak buku yang hanya dapat dimiliki atau diakses oleh orang-orang kaya. Inilah yang penulis maksud dengan kemunduran peradaban—yang pada akhirnya melahirkan frase percetakan biadab.
Persoalan budaya baca
Saat ini pemerintah seolah ingin berpuas diri dengan meningkatnya angka melek huruf. Padahal kalau kita ingin jujur, persaingan secara global baru bisa kita imbangi jika kualitas manusia Indonesia ditingkatkan, dimulai dari peningkatan angka “melek baca”.
Tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah memang tak sepenuhnya bersikap acuh. Hal ini terbukti dengan terus ditingkatkannya anggaran untuk pendidikan, adanya program bantuan operasional sekolah (BOS), dan disediakannya buku-buku elektronik (ebook) pelajaran sekolah yang dapat diunduh di situs pemeritah. Bahkan, 23 Februari lalu model toko buku mobil diluncurkan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Pendidikan Nasional, Depok.
Toko buku mobil tersebut rencananya akan beroperasi ke kabupaten-kabupaten terutama yang di daerahnya belum tersedia toko buku. Hal ini dilakukan untuk menjangkau seluruh pelosok dengan fokus utama kemudahan akses masyrakat terhadap buku pelajaran murah, berkisar Rp4.452 per eksemplar.
Terlepas dari berbagai kegagalan yang sudah-sudah karena banyaknya penyelewengan terhadap realisasi kebijakan-kebijakan tersebut di kehidupan nyata, tampaknya masih ada elemen penting yang luput dari perhatian pemerintah. Selama ini mereka terfokus pada buku-buku pelajaran sekolah (textbook). Lantas bagaimana halnya dengan akses masyarakat terhadap buku-buku lainnya?
Buku jendela ilmu
Dalam Bukuku Kakiku (Gramedia: 2004), tak kurang dari 22 tokoh besar Indonesia mengungkapkan betapa besar peran bacaan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petinju, agamawan, dosen, wartawan, pebisnis, peneliti, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), budayawan, hingga ekonom, menceritakan arti buku bagi mereka dan akhirnya bertemu pada persinggungan yang sama. Mereka mengakui bahwa bacaan sangat berpengaruh pada hidup mereka, baik terhadap perkembangan minat, pengambilan keputusan, karir, bahkan arah hidup.
Perhatikanlah bagaimana para sastrawan besar, baik di luar maupun di dalam negeri, mampu berkarya karena telah memperkaya pengetahuannya melalui bacaan yang sesuai minat dan bidangnya. Begitu pula dengan bidang-bidang yang lain.
Persoalan akses terhadap buku ini bukanlah persoalan yang sepele. Ada ungkapan yang berbunyi, “Anda adalah apa yang Anda baca.” Artinya, tinggi-rendahnya kualitas seseorang dapat diketahui dari jumlah dan kualitas bacaannya. Di tengah euforia untuk membuat Indonesia siap bersaing di kancah internasional, harusnya kita memperhatikan indikator tinggi-rendahnya peradaban suatu bangsa, yakni dari jumlah karya tulis yang dibaca dan dihasilkan oleh bangsa tersebut.
Masih sulitnya bagi masyarakat untuk memperoleh bacaan turut berdampak pada masih sedikitnya karya yang ditulis bangsa Indonesia. Sebagai contoh, dengan jumlah penduduk yang besar dan permasalahan sosial yang bertumpuk-tumpuk, nyatanya belum banyak penulis ataupun akademisi yang mengaji isu-isu sosial untuk disertakan dalam persaingan intelektual tingkat dunia. Persoalan sosial negeri ini justru lebih banyak dikaji oleh orang-orang asing.
Hal yang sama juga terjadi di bidang sastra, film, dan yang lainnya. Hanya sedikit insan dalam negeri yang mampu mempersaingkan karyanya di tingkat internasional. Dan dari yang segelintir itu, kita akan tahu bahwa mereka secara tidak langsung bisa menghasilkan karya yang berkualitas berkat buku-buku yang pernah mereka baca.
Buku murah
Mahalnya harga buku tak sepenuhnya disebabkan oleh percetakan yang bersifat komersil. Mahalnya ongkos produksi, mulai dari bahan baku hingga pajak kertas dan buku, turut mempengaruhi hal ini. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan, harusnya melihat hal ini sebagai aspek yang perlu pembenahan. Kita tak perlu malu untuk berkaca pada beberapa negara lain. Seperti India yang mampu menyediakan buku yang murah bagi warganya, baik buku-buku dalam negeri maupun yang diimpor dari negara lain. Lalu ada Singapura yang memberlakukan pajak nol persen untuk buku.
Di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang tidak memiliki perpustakaan daerah, sebagai wujud kepedulian pemerintah setempat untuk memberikan akses terhadap buku bagi warganya. Dicanangkannya proyek toko buku mobil, mudah-mudahan dapat menjadi penyelesaian yang baik untuk persoalan ini.
Lalu, kepedulian keluarga terhadap bacaan bagi seluruh anggota keluarga juga sama pentingnya. Semakin cepat seorang anak diajarkan dan terbiasa membaca, maka peningkatan angka melek baca di Indonesia juga bisa lebih cepat. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, hal ini akan berdampak pada jumlah karya tulis yang dihasilkan. Pihak yang paling dekat dengan seorang anak adalah keluarga di rumah. Tingkat perekonomian yang terpaksa terkonsentrasi pada mempertahankan asap di dapur daripada untuk membeli buku, merupakan persoalan serius yang selama ini mengganjal. Karenanya pemerintah harus membuat buku cukup terjangkau untuk dapat dibeli oleh rumah tangga. Dengan demikian, keluarga menjadi agen dalam penyebaran budaya baca yang paling awal.
Jika buku diibaratkan jendela. Kesuksesan pemerintah untuk menyediakan buku yang lebih terjangkau untuk masyarakat adalah upaya membuka jendela itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran.
(Tulisan ini pernah dimuat di Bandung Ekspres).
Diposting oleh actum communication di 19.17 1 komentar
Definisi Komunikasi
Sebagai ilmu yang ada di ranah sosial, komunikasi tidaklah bersifat pakem dengan rumusan tertentu. Ia tidak seperti matematika dengan rumus jika X maka Y dan sebagainya.
Dalam hal definisi pun wajar saja jika terdapat perbedaan pendapat di antara pakar komunikasi. Berikut ini beberapa definisi komunikasi yang dikemukakan pakar komunikasi yang berbeda sesuai konteks, frame of reference, dan field of experience masing-masing:
1.Bernard Berelson dan Gary A. Steiner: Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol—kata-kata, gambar, figure, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.
2.Theodore M. Newcomb: Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber kepada penerima
3.Carl I. Hovland: Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate).
4.Gerald R. Miller: Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk memengaruhi perilaku penerima.
5.Everett M. Rogers: Komunikasi adalah proses di mana sutu ide dilahirkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
6.Raymod S.Ross: Komunikasi (intentsional) adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.
7.Harold Lasswell: Cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Who says what in which channel to whom with what effect? Atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?
8.Donald Byker dan Loren J. Anderson: Komunikasi (manusia) adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.
9.William I.Gorden: komunikasi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.
10.Judy C.Pearson dan Paul E.Nelson: Komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.
11.Stewart L.Tubbs dan Sylvia Moss: Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
Selain kesebelas definisi komunikasi di atas, hingga kini sudah ada lebih dari dua ratus definisi komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli. Tiap-tiap definisi berbeda satu sama lain. Secara filosofis, kebenaran definisi komunikasi tersebut dapat dibenarkan jika terbukti secara empiris. Jika kemudian hendak dibuktikan ulang, maka elemen-elemen yang digunakan saat peneletian itu dilakukan tidak boleh ditiadakan karena komunikasi bersifat kontekstual.
Diposting oleh actum communication di 19.10 0 komentar